Jumat, 19 September 2014

Mengenal Topeng Malangan

Berdasarkan beberapa catatan sejarah, Topeng Malang adalah sebuah kesenian kuno yang usianya lebih tua dari Kota Malang rumah tinggalnya kini. Berita tentang adanya istilah drama tari topeng atau atapukan dimuat dalam prasasti Jaha yang berangka tahun 762 Saka atau 840 masehi masih menggunakan sumber lakon dari Epos Ramayana gubahan dinasti raja-raja mataram Kuno abad VIII.



Pada masa kejayaan kerajaan Singasari sewaktu pemerintahan Kertanegara muncul cerita baru dalam seni pertunjukan Topeng yaitu Sastra Panji, abad XIII. Murgiyanto dan Munardi dalam penelitiannya menyebutkan bahwa awal mula dikenalnya tari topeng di wilayah Malang terjadi pada abad ke-13 Masehi, yaitu pada periode pemerintahan raja Kertanegara . Sejak saat itulah seni tari topeng yang berada di daerah Malang dinamakan sebagai tari Topeng Malang.

Adapun bukti mengenai keberadaan tari topeng di masa kerajaan Singosari adalah adanya relief di beberapa candi peninggalan kerajaan Singosari. Dalam relief tersebut para penari topeng memakai atribut endhong (sayap belakang), rapek (hiasan setengah lingkaran di depan celana, lazim juga disebut pedangan), bara-bara dan irah-irahan (mahkota) yang bentuknya sama dengan kostum tari topeng di masa sekarang.

Dalam seting penyajiannya tari topeng Malang seringkali dilakukan di dalam ruangan dan diposisikan dalam panggung. Posisi penonton duduk sejajar di depan penari. Antara penari dengan penonton tidak dibatasi jarak apapun, sehingga antara tempat duduk dengan panggung gerak penari tidak jelas batasnya dan hanya menurut perkiraan kru (penata ruang) pertunjukan saja.

Pada bagian depan panggung terdapat kain geber yang digantungkan pada tiang di sisi kanan dan kiri panggung. Menurut Handoyo, proses keluarnya penari dari pintu kain merah tersebut diibaratkan sebagai proses kelahiran bayi yang keluar dari rahim ibunya pertandadimulainya suatu kehidupan.
Para panjak dan sinden yang bertugas mengiringi proses penampilan berada di sisi kiri depan panggung. Penempatan panjak di samping ini yaitu untuk mempermudah komunikasi antara penari dengan dalang.

Nggiro adalah musik pengiring pementasan yang dimainkan dengan perangkat musik khas Jawa. Biasanya permainan musik ini juga disebut dengan instrumen musik karawitan atau gendingan.

Segmentasi selanjutnya adalah pembukaan. Sebelum pertunjukan dimulai, salah seorang dari crew pementasan (biasanya panjak) menghaturkan ucapan salam dan selamat datang kepada para penonton. Pada penyambutan ini sang penyambut juga memberikan sedikit ringkasan lakon (sinopsis) pada para penonton sehingga mempermudah pemahaman isi cerita yang akan dimainkan. Setelah ringkasan tersebut disampaikan maka selanjutnya diteruskan dengan sesaji.


Pembacaan mantra dalam susunan pertunjukan berfungsi pula untuk menunjukkan pada penonton bahwa kesenian yang akan ditampilkan bukan hanya sekedar tontonan hiburan semata, akan tetapi juga sebuah wujud penghormatan roh penunggu desa. Hal ini bisa dilihat dari sebutan “Nini danyang, kaki danyang”.
Selanjutnya tari dimainkan sesuai dengan lakonnya. Pada tiap-tiap adegannya, pertunjukan ini dibagi secara runtut yang menjadi pakem pertunjukan. Jejer sepisan, adegan kerajaan Jawa / Panji. Grebeg Jawa, pengembaraan Panji. Jejer kapindo, adegan di kerajaan Sabrang. Grebeg Sabrang, adegan pengelanaan raja Klono bersama para patih untuk mencari putri yang akan dinikahi atau menaklukkan kerajaan lain. Perang grebeg, pertemuan antar Panji dengan kerajaan Sabrang. Jejer katelu, adegan pertapaan / kerajaan lain. Potrojoyo-Gunung sari. Adegan ulangan kerajaan pertama dan jejer kalmia, perang besar antar kedua kerajaan.

Setelah pertunjukan selesai, sang dalang menutup kegiatan senin legian tersebut kemudian anak wayang beserta panjak memakan sesajinya. Hal ini sangat berbeda dengan waktu dulu di mana setelah pertunjukan selesai sesaji dibawa ke punden Belik Kurung.

Sumber lebih lengkap : http://www.inibangsaku.com/tari-topeng-malangan/ ;

2 komentar: