Malang Itu Indah - JBITC 2014

Blog Pariwisata dan Budaya se Malang Raya

Malang Itu Indah - JBITC 2014

Blog Pariwisata dan Budaya se Malang Raya

Malang Itu Indah - JBITC 2014

Blog Pariwisata dan Budaya se Malang Raya

Malang Itu Indah - JBITC 2014

Blog Pariwisata dan Budaya se Malang Raya

Malang Itu Indah - JBITC 2014

Blog Pariwisata dan Budaya se Malang Raya

Senin, 22 September 2014

Tentang Kami

Malang mempunyai sejuta pesona yang indah. Mulai dari keragaman budaya hingga keragaman sejarah yang sekarang ini banyak dijadikan tempat pariwisata dengan sejarah yang melekat pada tempat tersebut. Disini kami menampilkan budaya-budaya Malang sekaligus tempat-tempat pariwisata yang bersejarah di kota Malang. Selamat Menikmati...

Bahasa Walikan, Bahasa Kera Kera Ngalam

Bahasa walikan ini sekarang sudah berbaur dengan bahasa Malangan, bahkan, sudah menjadi trade mark warga Malang. Bahkan sudah menjadi bahasa gaul dari berbagai kalangan, baik yang muda, ang tua, kalangan pelajar mahasiswa atau warga di aktifitas yang lainnya. Salah satu fungsi nyata bahasa walikan ini adalah memperkuat modal social masyarakat berupa semakin eratnya hubungan persaudaraan,saling percaya dan bisa bekerja sama disemua sector.

Lalu, dari mana munculnya bahasa walikan ini?
Pengamat sejarah dari Universitas Negeri Malang (UM) Dwi Cahyono menjelaskan, bahasa walikan yang kini sudah menjadi bahasa gaul tersebut sudah lama digunakan para pejuang di masa sebelum kemerdekaan. Bahasa walikan sudah lama menjadi sandi-sandi khusus para pejuang untuk berkomunikasi dengan para pribumi. "Ini digunakan untuk mengelabuhi para penjajah di zaman Belanda. Sebab, dengan cara itu, ternyata lebih mudah menjalin hubungan dengan sesama pejuang," terang pengamat sejarah ini. Karena keakraban dan pergaulan sehari-hari maka para pejuang dalam waktu singkat dapat fasih menguasai 'bahas' baru ini. Sedangkan lawan dan para penyusup yang tidak setiap hari bergaul dengan sendirinya akan kebingungan dan selalu ketinggalan istilah2 baru. Maka siapapun yang tidak fasih mempergunakan osob AREMA ini pasti bukan dari golongan pejuang dan pendukungnya, sehingga kehadiran para penyusup dapat diketahui dengan cepat serta rahasia komunikasi tetap terjaga.

Kalau dicermati maka ada beberapa kata yang khas asli malang antara lain seperti genaro (orang), ebes (orang tua), ojir (uang), sedangkan kata lainnya, adalah walikan dari bahasa yang umum Misalnya, kadit itreng (tidak ngerti), nakam (makan), nganal (laki-laki), kodew (perempuan), dan silup (polisi). lecep (pecel), sam (mas), kampes (sempak), kubam (mabuk), dan ngetem (meteng).

Pembelajaran Seni Tari Rasa Virtual

Era globalisasi seperti saat ini banyak bermunculan seni modern yang sebenarnya masih kalah jauh  dengan seni tradisional di zaman terdahulu. Salah satunya adalah seni tari. Jika dibicarakan seni tari sangat banyak sekali. Memang tak banyak orang orang yang mendalami seni tari, padahal dari seni tari situlah banyak makna yang harus kita cermati dan pelajari.

Saat ini, mempelajari seni tari bukanlah hal yang sulit. Banyak referensi referensi tentang bagaimana cara kita belajar dan berlatih tari. Tak perlu lagi memanggil pelatih dari luar untuk mengajari kita menari, hanya dengan PC / Laptop dan koneksi internet. Kita akan disuguhkan banyak sekali cuplikan video seni tari dari yang tradisional sampai yang mancanegara. Dari video tersebut kita dapat belajar dan mencontoh gerakan yang ditampilkan.

 Itulah cara yang mudah dan murah dalam belajar seni tari di zaman modern ini. Gunakan teknologi dengan benar maka akan bermanfaat bagi dirimu.

Tari Bedayan

Tarian ini hampir sama dengan tari beskalan, tarian ini juga sering ditampilkan untuk menyambut tamu penting. Berbeda dengan tari beskalan yang berarti sebagai tarian ucapan selamat datang, tarian ini mempunyai arti keterbukaan diri dan kesederhanaan. Tarian ini diungkapkan dengan penuh kesederhaan dan lugas.

Tarian ini juga mempunyai tujuan untuk menghargai dan menghormati para tamu raja yang datang dalam hubungan bermasyarakat. Hal tersebut didasari dengan prinsip bahwa tamu raja membawa nerkah bagi kota Malang. Karena menurut cerita, konon tarian ini menggambarkan pertemuan raja-raja jawa dengan nyi roro kidul.

Tari bedaya terdiri dari sembilan orang penari yang lemah gemulai dan memang bertemakans sejarah yang panjang. Ksembilan penari tersebut juga mempunyai nama sendiri-sendiri, yaitu: Batak, Gulu, Dada, Buncit, Endel Weton, Endel, Apit Wingking, Apit Ngajeng, dan Apit Meneng.

Kesembilan penari tersebut seperti bersatu dalam sebuah tubuh yang menghasilkan gerakan gemulai yang penuh dengan makna. Makna yang berarti kota Malang sangat menerima tamu agung tersebut dengan kesederhnaan dan keterbukaan diri.


Coban Rondo, Kisah dan Konflik Menjadi Satu

Wanawisata Coban Rondo berlokasi sekitar 25 kilometer dari Kota Malang atau sekitar 12 kilometer di barat Kota Batu. Waktu tempuh dari Kota Malang ke lokasi sekitar satu jam. Untuk tiba Coban Rondo, pengunjung bisa naik kendaraan pribadi atau umum dari Kota Malang. Jika naik angkutan umum, pengunjung turun di daerah Patung Sapi Pujon dengan tarif Rp 10.000. Selanjutnya, wisatawan naik ojek motor untuk sampai di kawasan wisata.

Tiket masuk kawasan Wanawisata Coban Rondo Rp 12.000 per orang dan parkir kendaraan Rp 1.000-Rp 3.000. Dari gerbang masuk, pengunjung masih harus menempuh perjalanan berkelok-kelok di tengah hutan pinus sepanjang sekitar 4 kilometer hingga sampai di tempat parkir. Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 500 meter hingga sampai di lokasi air terjun. Tinggi air terjun Coban Rondo 84 meter. Obyek wisata ini di bawah pengelolaan Perum Perhutani Malang dan berada di ketinggian 1.135 meter di atas permukaan air laut.

Coban Rondo pun memiliki legenda menarik yang selalu dikenang. Coban berarti ’air terjun’. Sebagian orang menyebutnya sebagai serapan dari kata cobaan. Syahdan, tersebutlah sepasang muda mudi yang baru saja melangsungkan pernikahan. Mereka dikenal dengan nama Dewi Anjarwati yang berasal dari Gunung Kawi, dan Raden Baron Kusuma yang berasal dari Gunung Anjasmoro. Mereka berdua hidup berbahagia, ibarat bunga yang sedang mekar, indah dan berbau harum. Suatu hari Dewi Anjarwati berkeinginan menjenguk kedua mertuanya (orang tua Raden Baron Kusumo) di Gunung Anjasmoro. Orang tua Dewi Anjarwati tidak mengizinkan kedua mempelai untuk bepergian mengingat usia pernikahan mereka baru 36 hari (selapan), dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa pasangan pengantin yang belum melalui masa selapan tidak diperkenankan untuk bepergian jauh, atau sesuatu yang buruk akan menimpa mereka. Namun, Dewi Anjarwati dan Raden Baron Kusumo mengabaikan anjuran orang tua Dewi Anjarwati dan tetap berangkat menuju Gunung Anjasmoro seraya menegaskan bahwa mereka siap menerima resiko apapun sekamuinya benar-benar terjadi sesuatu yang buruk di tengah perjalanan.




Di tengah perjalanan, rombongan mempelai bertemu dengan seseorang yang mengaku bernama Joko Lelono. Pria yang tidak diketahui asal-usulnya dengan jelas tersebut jatuh hati pada Dewi Anjarwati dan berusaha mengambil sang mempelai perempuan dari suami sahnya. Akibatnya terjadilah perkelahian yang cukup hebat antara Joko Lelono dan Raden Baron Kusumo. Keduanya saling mengadu ilmu dan tampak sama kuat. Lalu Raden Baron Kusumo menginstruksikan agar para pembantunya lari dan menyelamatkan Dewi Anjarwati di suatu tempat yang disebut dengan Coban (air terjun). Kesanalah akhirnya rombongan ini menuju dan menanti datangnya Raden Baron Kusumo. Namun apa daya ternyata Raden Baron Kusumo tak pernah datang, meski telah dinanti sekian lama. Di sebuah batu yang terletak di bawah air terjun Sang Putri merenungi nasibnya akibat melanggar nasehat orang tua. Dan air terjun itu dinamakan Coban Rondo (air terjun janda) hingga saat ini.

Moda transportasi umum yang tersedia untuk menuju Air Terjun Coban Rondo adalah bus jurusan Malang-Kediri via Pujon dengan ongkos sekitar Rp 2500/ orang.  Sedangkan tiket masuk Air Terjun Coban Rondo juga sangat terjangkau, yaitu sekitar Rp 3000-Rp 4000/ orang, dengan harga tiket parkir Rp 3000 untuk kendaraan roda empat, dan Rp 1000 untuk kendaraan roda dua.

Hutan Malabar, Hawa Sejuk di Kota Malang

Di kota Malang terdapat sebuah taman hutan kota yang letaknya berada di jalan Malabar yaitu Hutan Kota Malabar. Luas hutan ini kurang lebih 16.718m2*. Di tengah Hutan Kota Malabar terdapat kolam air yang konon menjadi sumber untuk mengairi taman-taman di kota Malang. Hutan kota ini begitu banyak manfaatnya. Bisa digunakan untuk rekreasi karena ditempat ini begitu teduh dan tenang sehingga membuat hati kita menjadi damai. Bisa juga untuk edukasi karena banyak tanaman pepohonan dengan nama spesies yang bermacam-macam.

Begitu masuk ke dalam Hutan Kota Malabar ini, mulai terasa hawa yang sejuk dan terdengar kicauan burung. Hutan Kota Malabar ini sudah mulai lebat pohonnya, sehingga berada di dekatnya pun akan terasa hawa yang segar. Pohon yang ada di hutan kota ini yaitu pohon palm. bringin, cemara, jambu, dll. Sayangnya Hutan ini sangat kurang adanya perawatan sehingga hutan menjadi banyak nyamuk. Hutan kota ini belum digarap secara maksimal oleh pemkot. Ini terlihat belum adanya fasilitas yang memadai, seperti kursi untuk tempat duduk-duduk dan juga kurang terawatnya spesies yang hidup disini.




Dwarapala, Patung Penjaga dalam Ajaran Dewa Siwa

Dwarapala, patung yang sangat menyeramkan dan besar ini merupakan patung penjaga gerbang dalam ajaran Dewa Siwa dan Agama Budha. Bentuknya seperti manusia atau monster. Biasanya, dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain untuk melindung tempat suci atau tempat keramat. Dwarapala terbesar di Jawa terdapat di Singosari dibuat dari batu andesit setinggi 3,7 meter dengan berat kira-kira 3 ton. Biasanya, di Jawa dan Pulau Bali arca dwarapala biasanya diukir dari batu andesit, berperawakan gemuk dan digambarkan dalam posisi tubuh setengah berlutut, menggenggam senjata gada. Sedangngkan dwarapala di Kamboja dan Thailand memiliki perawakan tubuh lebih langsing dengan posisi tubuh tegak lurus memegang gada di tengah tepat di antara kedua kakinya.


Bangunan suci yang kecil biasanya punya satu arca dwarapala, beberapa situs bangunan suci yang lebih besar memiliki empat, delapan, bahkan duabelas arca dwarapala yang menjaga empat penjuru mata angin sebagai Lokapala, dewa penjaga empat atau delapan penjuru mata angin.